Kamis, 05 Maret 2009

Tafakur : Bayangan

Di sebuah daerah nan jauh dari kota, seorang pemuda terhinggap penyakit aneh. Ia begitu gusar dengan keadaannya. Selalu gelisah. Karena penyakit itu, sang pemuda tak berani keluar rumah siang hari. Takut. Sangat takut.

Sebenarnya, penyakit itu tampak sederhana. Sang pemuda begitu merinding ketakutan ketika melihat bayangan hitam dirinya akibat sorotan cahaya. Tiap kali menemukan bayangan hitam yang mengikuti geraknya, si pemuda berteriak histeris. "Takut! Takut!" Mungkin, bayangan itu terlihat lain olehnya. Seperti sosok hitam misterius yang terus membayangi ke mana pun ia bergerak.

Beberapa tabib telah didatangkan. Ada yang ahli gangguan setan. Ada yang ahli jiwa. Ada juru nasihat. Dan seterusnya. Tapi, semua belum menggembirakan. Sang pemuda masih saja takut. Ia seperti tak akan pernah sembuh.

Hingga suatu kali, seorang guru berkunjung. Dari balik rumahnya nan gelap, sang pemuda mempersilakan kakek tua itu masuk. "Silakan masuk, Guru!" ucapnya pelan. Kakek dan pemuda itu pun duduk dalam ruang gelap. Nyaris, tak seberkas sinar pun bisa menelusup dari celah bilik rumah itu. Ruang-ruang di situ begitu rapat. Gelap dan pengap.

"Ada apa, anakku? Kenapa kau mengurung diri seperti ini?" suara sang kakek memulai pembicaraan. Wajahnya nan teduh bisa terasa jelas oleh sang pemuda. Pertanyaan itu seperti mengungkit-ungkit rasa kesadarannya yang tertimbun takut.

"Aku takut, Guru! Takut!" jawabnya singkat. "Takut apa?" tanya sang guru lagi. "Aku takut dengan bayangan hitam yang terus membuntutiku. Ia seperti menunggu saat aku lengah. Mungkin, sosok hitam itu akan membunuhku!" ungkapnya sambil sesekali menahan tangis.

"Anakku. Tahukah kamu kalau bayangan hitamlah yang mengantarku ke sini. Kini, ia tak dapat masuk bersamaku di ruang ini. Padahal, ia sahabat terbaikku. Kemana pun aku pergi, ia selalu menemani," ucap sang guru tenang.

"Tapi guru, ia begitu menyeramkan!" sergah sang pemuda bersemangat. Sang kakek pun tersenyum. Ia memegang pundak pemuda itu, lembut. "Anakku. Jangan terpengaruh dengan bayangan hitam. Karena itu pertanda kalau seseorang sedang tersorot cahaya," suara sang kakek sambil menahan nafas.

"Anakku," suaranya lagi agak lebih berat. "Songsonglah sumber cahaya, kau akan bahagia. Jangan terus menatap bayangan gelapnya. Karena kau akan takut melangkah!" ucap sang guru meyakinkan.

***

Dinamika hidup kerap menawarkan dua sisi. Satu sisi menawarkan peluang, dan sisi lain memunculkan ancaman. Ibarat cahaya, peluang selalu memberikan harapan. Dan cahaya yang menyorot sebuah benda, pasti akan membentuk bayangan. Itulah sisi gelap sebuah ancaman.

Persoalannya, orang kadang lebih sering melihat sisi gelap ancaman daripada harapan. Mau nikah, takut cerai. Mau bisnis, takut rugi. Mau jadi pejabat, takut kena hujat. Dan seterusnya. Orang pun terkungkung pada rasa takut bayangan hitam yang sebenarnya sisi lain dari sebuah peluang.

Menarik apa yang pernah diajarkan seorang ulama seperti Ibnu Qayyim soal cahaya harap dan ancaman takut. Beliau mengatakan, "Harap dan takut tak ubahnya seperti dua sayap pada seekor burung." Kepakan keduanya akan menerbangkan burung kemana pun ia pergi.

Mungkin benar apa yang dikatakan kakek guru di atas. Songsonglah cahaya harap, dan jadikan bayangan ancaman sebagai teman pengawas. Insya Allah, kita bisa terbang ke puncak cita-cita

Tafakur : Cermin

"Ternyata, aku cakep!" ujarnya setelah memastikan kalau bayangan itu memang benar-benar diri kancil sendiri. Dan, kancil pun melompat-lompat kegirangan. Tiap kumpulan hewan yang ia lalui seolah tersenyum memandangi dirinya. Bisikan yang selalu ia yakini pun mengatakan, "Kancil cakep, Ya! Kancil cakep!"

Begitu seterusnya hingga hewan periang ini menemukan genangan air yang lain. Warna air itu agak kusam. Beberapa dahan pohon yang mulai membusuk dalam air seperti memberi warna hijau pekat. Dan bayang-bayang yang dipantulkan genangan itu pun akan menjadi kusam.

"Hei, kenapa wajahku seperti ini?" teriak kancil sesaat setelah memandangi bayangan wajahnya dari permukaan genangan air itu. Ia jadi kian penasaran. Terus ia pandangi genangan itu seolah mencari detil-detil kesalahan. Tapi, bayangan itu tak juga berubah. Ia terlihat kusam, kumuh. Bulu-bulu coklatnya yang bersih tak lagi tampak seperti apa adanya. "Ternyata aku salah! Aku tidak cakep!" keluh kancil sambil beranjak meninggalkan genangan air.

Berjalan agak lunglai, kancil membayangkan sesuatu yang tak nyaman. Sapaan manis hewan-hewan yang ia lalui, terasa agak lain. Tiap sapaan seperti sebuah hinaan: "Kancil jelek! Sok cakep!" Itulah kenapa kancil selalu menunduk ketika berpapasan dengan siapa pun yang ia jumpai. Mulai dari kuda, kerbau, rusa, zebra, dan kambing. Ia merasa begitu rendah dibanding yang lain. Keriangannya pun berganti kesedihan. Pelan tapi pasti, bayang-bayang itu pun menjadi sebuah pengakuan. "Aku memang sok cakep!"

***

Hidup dalam sebuah kebersamaan adalah sama dengan memandangi diri dalam seribu satu cermin sosial. Masing-masing cermin punya sudut pandang sendiri. Bayangan yang ditampilkannya pun sangat bergantung pada mutu cermin. Tentu akan beda antara bayangan cermin jernih dengan yang kusam. Terlebih jika cermin itu sudah retak.

Memahami keanekaragaman cermin ini akan membuat seseorang seperti berjalan pada bentangan tambang di sebuah ketinggian. Ia mesti merawat keseimbangan: antara percaya diri yang berlebihan dengan rendah diri yang kebablasan. Percaya diri yang berlebihan, membuat langkah menjadi tidak hati-hati. Dan rendah diri yang kebablasan, membuat langkah tak pernah memulai.

Andai keseimbangan percaya diri ini yang dipahami kancil, tentu ia tak terlalu bangga dengan bayangan yang terasa begitu membuai. Karena di cermin yang lain, bayangan dirinya menjadi buruk. Sangat buruk. Andai keseimbangan ini yang dipegang kancil, insya Allah, ia tak akan jatuh. 

Tafakur : Rumah


Seekor kura-kura tampak tenang ketika merayap di antara kerumunan penghuni hutan lain. Pelan tapi pasti, ia menggerakkan keempat tapak kakinya yang melangkah sangat lamban: "Plak...plak...plak...!"

Tingkah kura-kura itu pun mengundang reaksi hewan lain. Ada yang mencibir, tertawa, dan mengejek. "Hei, kura-kura! Kamu jalan apa tidur!" ucap kelinci yang terlebih dulu berkomentar miring. Spontan, yang lain pun tertawa riuh.

"Hei, kura-kura!" suara tupai ikut berkomentar. "Kalau jalan jangan bawa-bawa rumah. Berat tahu!" Sontak, hampir tak satu pun hewan yang tak terbahak. "Ha..ha..ha..ha! Dasar kura-kura lamban!" komentar hewan-hewan lain kian marak.

Namun, yang diejek tetap saja tenang. Kaki-kakinya terus melangkah mantap. Sesekali, kura-kura menoleh ke kiri dan kanan menyambangi wajah rekan-rekannya sesama penghuni hutan. Ia pun tersenyum. "Apa kabar rekan-rekan?" ucap si kura-kura ramah.

"Teman, tidakkah sebaiknya kau simpan rumahmu selagi kamu jalan. Kamu jadi begitu lambat," ucap kancil lebih sopan. Ucapan kancil itulah yang akhirnya menghentikan langkah kura-kura. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu.

"Tak mungkin aku melepas rumahku," suara kura-kura begitu tenang. "Inilah jatidiriku. Melepas rumah, berarti melepas jatidiri. Inilah aku. Aku akan tetap bangga sebagai kura-kura, di mana pun dan kapan pun!" jelas si kura-kura begitu percaya diri.
**

Menangkap makna hidup sebagai sebuah pertarungan, memberikan sebuah kesimpulan bahwa merasa tanpa musuh pun kita sebenarnya sedang bertarung. Karena musuh dalam hidup bisa berbentuk apa pun: godaan nafsu, bisikan setan, dan berbagai stigma negatif. Inilah pertarungan yang merongrong keaslian jatidiri: sebagai muslim, aktivis, dan dai.

Pertarungan tanpa kekerasan ini bisa berakibat fatal dibanding terbunuh sekali pun. Karena orang-orang yang kalah dalam pertarungan jatidiri bisa lebih dulu mati sebelum benar-benar mati. Ia menjadi mayat-mayat yang berjalan.

Bagian terhebat dari pertarungan jatidiri ini adalah orang tidak merasa kalah ketika sebenarnya ia sudah mati: mati keberanian, mati kepekaan, mati spiritual, mati kebijaksanaan, dan mati identitas.

Karena itu, tidak heran jika kura-kura begitu gigih mempertahankan rumah yang membebaninya sepanjang hidup. Walaupun karena itu, ia tampak lamban. Walaupun ia diserang ejekan. Kura-kura punya satu prinsip yang terus ia perjuangkan: inilah aku! Isyhaduu biannaa muslimiin. 

Tafakur : Kodok

Di sebuah tempat di tepian hutan, seorang santri tengah menyiapkan tempat untuk salat malam. Ia sapu debu dan dedaunan kering yang tercecer di sekitar ruangan salat. Sesaat kemudian, sajadah pun terhampar mengarah kiblat. Hujan yang mulai reda menambah keheningan malam.

"Bismillah," suara sang santri mengawali salat. Tapi, "Kung...kung...kung!" Suara nyaring bersahut-sahutan seperti mengoyak kekhusyukan si santri. Ia pun menoleh ke arah jendela. "Ah, suara kodok itu lagi!" ucapnya membatin.

Sudah beberapa kali ia ingin memulai salat malam, selalu saja suara kodok meng-kungkung bersahut-sahutan. Tentu saja, itu sangat mengganggu. Masak, salat malam yang mestinya begitu khusyuk, yang tertangkap selalu wajah kodok. Mata yang bulat, leher dan kepala menyatu dan meruncing di mulut, serta gelembung di bagian leher yang menghasilkan nada begitu tinggi: kung!

"Astaghfirullah! Gimana bisa khusyuk," ucap sang santri sambil membuka jendela kamarnya. Ia menjulurkan kepalanya keluar jendela sambil menatap tajam ke arah genangan air persis di samping jendela. Tapi, beberapa kodok tetap saja berteriak-teriak. Mereka seperti tak peduli dengan sindiran 'halus' si santri.

Hingga akhirnya, "Diaaaam!!!" Si santri berteriak keras. Lebih keras dari teriakan kodok. Benar saja. Teriakan santri membuat kodok tak lagi bersuara. Mereka diam. Mungkin, kodok-kodok tersadar kalau mereka sedang tidak disukai. Bahkan mungkin, terancam. "Nah, begitu lebih baik," ucap si santri sambil menutup jendela.

Ia pun kembali mengkhusyukkan hatinya tertuju hanya pada salat. Kuhadapkan wajahku hanya kepada Allah, Pencipta langit dan bumi. Tapi, "Kung...kung...kung!" Kodok-kodok itu kembali berteriak bersahut-sahutan. Spontan, sang santri kembali menghentikan salatnya.

Kali ini, ia tidak segera beranjak ke arah jendela. Ia cuma menatap jendela yang tertutup rapat. Sang santri seperti menekuri sesuatu. Lama..., ia tidak melakukan apa pun kecuali terpekur dalam diamnya.

"Astaghfirullah," suara sang santri kemudian. "Kenapa kuanggap teriakan kodok-kodok itu sebagai gangguan. Boleh jadi, mereka sedang bernyanyi mengiringi malam yang sejuk ini. Atau bahkan, kodok-kodok itu pun sedang bertasbih seperti tasbihku dalam salat malam.

Astaghfirullah," ucap sang santri sambil menarik nafas dalam. Dan, ia pun memulai salatnya dengan begitu khusyuk. Khusyuuuk...sekali. Begitu pun dengan kodok-kodok: "Kung...kung...kung!"

***

Kadang, karena ego diri, sudut pandang jatuh tidak pas pada posisinya. Biarkan yang lain bersuara beda. Karena boleh jadi, itulah tasbih mereka.

Tafakur : Polos

Lembaran kertas putih merasa tak nyaman ketika baru saja keluar dari pabrik. Ia merasa bingung dengan kenyataan dirinya. Tidak ada garis, tulisan, atau warna apa pun kecuali putih. Tapi, wujudnya berbentuk buku seperti yang lain.

“Kok aku beda?” tanya si buku polos ke lembaran buku tulis yang lain. “Beda?” sergah salah satu buku tulis bergaris. “Iya. Coba perhatikan, kamu tercetak dengan garis-garis teratur. Ada yang kotak-kotak. Yang lainnya lagi bahkan ada yang tertulis dengan huruf berwarna disertai kartun lucu,” ucap buku polos bersemangat. “Sementara aku? Boro-boro kartun lucu, satu garis pun tak ada yang hinggap!” tambah si buku polos menggugat.

“Jadi, kamu tak terima?” tanya buku bergaris teratur, lembut. “Tentu saja! Ini tidak adil!” sergah si buku polos begitu spontan.

Semua terdiam. Semua jenis buku tulis mulai ambil jarak dengan buku polos. Mereka khawatir kalau ketidakpuasan bukan sekadar gugatan, tapi berubah jadi tindakan. Hingga...

Seorang anak manusia mengambil buku polos dengan tangan kecilnya. Lembaran buku tak bergaris dan berwarna itu pun dipandangi sang anak begitu tajam. Entah apa yang dilakukan, beberapa menit kemudian, buku polos itu tak lagi putih sepi. Ia sudah berubah menjadi halaman penuh warna. Ada goresan merah, hijau, biru, kuning, dan berbagai perpaduan warna lain.

Ketika buku itu ditinggalkan sang anak, beberapa buku lain datang menghampiri. Semua terperanjat. Karena lembaran yang semula polos, kini berubah menjadi bentuk lukisan penuh warna. “Aih indahnya!” gumam semua buku tulis begitu kagum.

Saat itulah, sang buku polos sadar. Selama ini, ia salah. Kepolosannya tanpa garis bukan bentuk penghinaan terhadap dirinya. Bukan juga ketidakadilan. Tapi, karena ia akan menjadi wadah berbagai goresan warna seni yang akan membentuk karya indah. “Ah, aku ternyata buku gambar!” ucap si buku polos akhirnya. **

Hidup ini penuh warna. Hampir tak ada yang sama pada ciptaan Allah. Walaupun, masih sama-sama manusia. Ada yang kaya, cukup, dan kurang. Ada yang cantik, tampan; ada pula yang biasa saja. Ada yang berhasil dan sukses, tidak sedikit yang merasa gagal.

Tidak jarang, seorang anak manusia mengambil pandangan dari sudut yang sempit. Bahwa, kegagalan adalah sebuah ketidakberdayaan. Bahwa, belum tampaknya peluang-peluang berkarya adalah ketidakadilan. Hingga, jauhnya jodoh buat para lajang merupakan sebuah hukuman.

Cermati dan pelajari. Karena boleh jadi, di balik kegagalan ada rahasia kesuksesan. Di balik sempitnya peluang, ada ujian kemampuan. Di balik lajang yang berkepanjangan, ada pendidikan kemandirian. Dan di balik kertas polos, ada peluang warna-warni keindahan goresan kehidupan. 

Tafakur : Kuda

Seekor anjing tampak menatapi tingkah seekor kuda yang berlari-lari tak jauh dari hadapannya. Sang kuda begitu ceria. Sesekali, kuda menggoyangkan kepalanya seperti sedang berdendang riang. Anjing pun mengubah wajah cemberutnya dengan bersuara ke arah kuda.

“Kamu begitu bahagia, kuda?” tanya sang anjing menampakkan wajah penasaran. Padahal, di masa kering seperti ini, sebagian besar penghuni padang rumput terjebak kehidupan yang begitu sulit.

“Ya, aku bahagia!” ucap kuda sambil terus berlari kecil seraya tetap mengungkapkan keceriaannya.

“Kamu tidak merasa susah di masa kering seperti ini?” tanya anjing dengan wajah masih muram.

“Tidak!” jawab kuda singkat. Gerakan larinya makin melambat. Dan, sang kuda pun menghentikan langkahnya di depan sang anjing.

“Apa kamu sudah kaya, temanku?” tanya si anjing serius. Yang ditanya tidak memberikan reaksi istimewa. Kuda cuma menjawab pelan, “Tidak!”

“Mungkin kamu sudah punya rumah baru seperti kura-kura, keong, atau yang lainnya?” tanya anjing tetap menunjukkan rasa penasaran. Kuda hanya menggeleng.

“Mungkin kamu sudah bisa menghasilkan mutiara seperti para kerang di laut?” tanya sang anjing lagi. Lagi-lagi, kuda menggeleng. “Lalu? Kenapa kamu begitu bahagia?” sergah anjing lebih serius.

“Entahlah,” jawab kuda sambil tetap menunjukkan wajah cerianya. “Aku bahagia bukan karena punya apa-apa. Aku bahagia karena bisa memberi apa yang kupunya: tenaga, kecerdasan, bahkan keceriaan,” jelas kuda begitu panjang.

“Itukah yang membuatmu bahagia dibanding aku?” tanya anjing mulai menemukan jawaban menarik.

“Aku merasa bahagia dan kaya karena selalu berpikir apa yang bisa kuberikan. Dan bukan, apa yang bisa kudapatkan,” tambah si kuda yang mulai beranjak untuk kembali berlari. **

Manis pahit kehidupan kadang bergantung pada bagaimana kita memandang. Dari situlah sikap diri akan menemukan cermin. Kalau hidup dipandang dengan wajah muram, maka cermin akan memantulkan sikap susah, suram, dan tidak mengenakkan.

Cobalah letakkan mata hati kita di tempat yang nyaman untuk memandang hidup ini secara positif. Maka, kita akan menemukan energi baru tentang bagaimana mengarungi hidup.

Dari situlah, sikap yang muncul persis seperti diungkapkan sang kuda, “Aku merasa bahagia karena selalu berpikir apa yang bisa kuberikan. Bukan, apa yang bisa kudapatkan.” (muhammadnuh@eramuslim.com)

**

فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى ﴿٥﴾ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ﴿٦﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى ﴿٧﴾ وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى ﴿٨﴾ وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى ﴿٩﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى ﴿١٠﴾ 

Petunjuk Jalan

Umat manusia sekarang ini berada di tepi jurang kehancuran. Keadaan ini bukanlah berasal dari ancaman maut yang sedang tergantung di atas ubun-ubunnya. Ancaman maut itu adalah satu gejala penyakit dan bukan penyakit itu sendiri.

Sebenarnya puncak dari keadaan ini ialah: bangkrut dan menyimpangnya umat manusia di bidang “nilai” yang menjadi pelindung hidupnya. Hal ini terlalu menonjol di negara-negara blok Barat yang memang sudah tidak punya nilai apa pun yang dapat diberinya kepada umat manusia; bahkan, tidak punya sesuatu pun yang dapat memberi ketenangan hatinya sendiri, untuk merasa perlu hidup lebih lama lagi; setelah sistem “demokrasi” nampaknya berakhir dengan kegagalan dan kebangkrutan, sebab ternyata ia sudah mulai meniru - dengan secara berangsur-angsur - dari sistem negara-negara blok Timur, khususnya di bidang ekonomi, dengan memakai nama sosialisme!

Demikian juga halnya di negara-negara blok Timur itu sendiri. Teori-teori yang bercorak kolektif, terutamanya Marxisme yang telah berhasil menarik perhatian sebahagian besar umat manusia di negara-negara blok Timur itu – dan malah di negara-negara blok Barat juga - dengan sifatnya sebagai suatu isme yang memakai cap akidah juga telah mulai mundur teratur sekali dari segi ‘teori’ hingga hampirlah sekarang ini lingkungannya terbatas di dalam soal-soal ‘sistem kenegaraan’ sahaja dan sudah menyeleweng begitu jauh dari dasar isme yang asal dasar-dasar pokok yang pada umumnya bertentangan dengan fitrah umat manusia dan tidak mungkin berkembang kecuali di dalam masyarakat yang mundur, atau pun masyarakat yang begitu lama menderita di bawah tekanan sistem pemerintahan diktator.

Hatta di dalam masyarakat seperti itu sendiri pun - telah mulai nampak kegagalan di bidang materi dan ekonomi; yaitu bidang yang paling dibanggakan oleh sistem itu sendiri.

Lihat sahaja Russia, negara model dari sistem kolektif itu, telah mulai diancam bahaya kebuluran yang hampir sama dengan keadaan di zaman Tzar dahulu; hingga negara itu telah terpaksa mengimpor gandum dan bahan-bahan makanan serta menjual emas simpanannya untuk membeli bahan makanan itu.

Ini puncak dari kegagalan sistem pertanian kolektif dan sistem ekonomi yang bertentangan dengan fitrah umat manusia. Oleh itu, maka umat manusia mestilah diberikan pimpinan baru!

Sesungguhnya peranan pimpinan manusia barat atas umat manusia ini telah hampir tamat. Ini bukanlah kerana ekonomi Barat itu telah bangkrut dan dari segi benda atau telah lemah dari segi ekonomi dan kekuatan tentara, tetapi sebenarnya karena sistem Barat itu telah tamat tempohnya sebab ia tidak lagi mempunyai stock “nilai” yang melayakkan dia memegang pimpinan.

Umat manusia memerlukan suatu pimpinan yang mampu menyambung terus ekonomi kebendaan seperti yang telah dapat dicapai sekarang melalui ekonomi cara Eropah itu, juga yang mampu memberikan nilai baru yang lengkap, sebanding dengan yang telah ada dan telah popular di dalam masyarakat manusia, juga yang mempunyai program yang aktual, positif dan praktis.

Hanya Islam sajalah yang mempunyai nilai-nilai dan program yang sangat diperlukan itu.

Kemajuan ilmu pengetahuan telah pun menunaikan tugasnya. Sejak dari zaman kebangkitan di dalam abad keenam belas Masihi dan telah mencapai puncak kemajuannya di dalam abad kedelapan betas dan abad kesembilan belas. Sesudah itu, ekonomi Eropa sudah kehabisan bahan simpanan, untuk disumbangkan kepada umat manusia.

Demikian juga faham-faham “kebangsaan” dan “perkauman” yang telah muncul pada ketika itu, dan beberapa buah negara gabungan telah lahir dan telah memberikan sumbangannya kepada umat manusia tapi faham-faham “kebangsaan” dan perkauman” itu sudah tidak mampu memberikan apa-apa kepada umat manusia, karena sudah kehabisan bahan simpanan…

Pada akhirnya sistem-sistem yang berdasarkan kebebasan individu dengan disusuli pula oleh sistem kolektif telah selesai peranannya dan berakhir dengan kegagalan juga.

Sekarang tibalah pula giliran ISLAM dan peranan “umat” di saat yang paling genting ini. Islam yang tidak memandang remeh dan rendah kepada hasil ciptaan sains yang dilakukan oleh umat manusia sebelum ini dan akan terus dilakukan oleh umat manusia di sepanjang zaman kerana Islam memandang kemajuan di bidang ciptaan sains itu sebagai salah satu tugas utama manusia sejak Allah melantik umat manusia ini menjadi “khalifah” dan pemerintah di bumi ini, dan di bawah syarat-syarat tertentu pula, Islam memandangnya sebagai ibadat kepada Allah, dan sebagai pelaksanaan tujuan hidup manusia:

Firman Allah: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak jadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah: 30)

Dan firman Allah: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Adz-Dzariat: 5)

Maka tibalah giliran bagi “UMAT ISLAM” melaksanakan tujuan Allah yang telah melahirkan umat ini ke tengah-tengah masyarakat umat manusia:

"Kamu [umat Islam] adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, yaitu kamu menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat kejahatan dan kamu beriman kepada Allah." (Ali Imraan: 110)

Dan firman Allah: "Dan demikianlah kami jadikan kamu [umat Islam] umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas perbuatan kamu ..." (Al-Baqarah: 143)

Tetapi Islam tidak akan mampu menunaikan tugasnya kecuali bila ia menjelma di dalam sebuah masyarakat, yaitu ia menjadi panduan hidup suatu umat kerana umat manusia tidak mau mendengar - terutama sekali di zaman mutakhir ini - kepada suatu akidah yang kosong, yang tidak dapat dilihat buktinya melalui suatu bentuk hidup yang nyata dan dapat disaksikan sedangkan “wujud” umat Islam itu sendiri boleh dianggap telah terputus -sejak beberapa abad yang lalu.

UMAT ISLAM itu bukanlah seperti sebidang tanah di mana Islam hidup di situ, bukan juga suatu kaum atau golongan orang yang nenek moyang mereka dahulu pernah menghayati Islam sebagai panduan hidup mereka kerana sesungguhnya “umat Islam” itu ialah suatu golongan manusia yang menimba hidup, konsep realiti, nilai hidup mereka dari sumber Islam dan umat ini, dengan ciri-ciri yang disebut di atas, telah terputus wujudnya sejak terhentinya pelaksanaan undang-undang dan syariat Islam dari seluruh muka bumi ini.

Oleh sebab itu maka perlulah dipulihkan wujud umat itu; supaya Islam dapat menunaikan peranan yang sangat diharapkan itu, dalam memimpin umat manusia sekali lagi.

Memanglah umat Islam itu mesti bangkit dari hempasan zaman, konsep hidup yang sesat dan oleh realiti hidup yang menyeleweng, oleh sistem hidup yang pincang dan tiada kena mengena dengan Islam sama sekali, tiada kena mengena dengan program Islam walaupun umat itu masih menganggap dirinya sebagai umat Islam dan masih memanggil negeri tempat tinggal mereka sebagai “dunia Islam.”

Sebenarnya saya paham benar bahwa jarak antara kebangkitan dan “memegang pimpinan” itu masih jauh dan susah dilalui sebab sesungguhnya umat Islam sudah hilang dari “wujud” dan “realiti” begitu lama sekali dan peranan memimpin umat manusia itu telah diambil oleh fikiran yang lain, oleh umat yang lain dan oleh konsep yang lain, juga oleh realiti yang lain berabad-abad lamanya dan materialisme Eropa telah menciptakan, dalam waktu yang begitu lama, banyak perbendaharaan yang berbentuk Ilmu Pengetahuan, kebudayaan, sistem hidup, dan industri.

Walau bagaimanapun tanpa mengenepikan pertimbangan ini, walau bagaimana jauhnya pun jarak di antara kebangkitan dengan memegang pimpinan, langkah-langkah ke arah kebangkitan itu mesti dijalankan terus dan jangan dilengahkan lagi!

Supaya kita selalu dapat menguasai persoalannya, maka perlu benar kita memahami secara terperinci, apakah syarat-syarat kelayakan yang akan menjadikan umat ini (umat Islam) memegang peranan memimpin umat manusia, supaya kita tidak meraba-raba dalam mencari unsur-unsur yang dapat mencetuskan kebangkitan semula umat ini, di peringkat pertama.

Umat ini sekarang tidak punya kemampuan dan tidak perlu ia mempunyai kemampuan untuk mengemukakan kepada umat manusia keunggulan dan kehandalannya di dalam sektor materi yang membikin orang tunduk dan takut kepadanya dan memaksa umat manusia menerima pimpinannya berdasarkan faktor ini; kerana kemajuan Eropa di lapangan ini telah terlalu jauh mendahuluinya dan memang sulit untuk dilewati dalam beberapa abad ke depan, untuk mengatasi mereka di lapangan ini!

Yang demikian maka mestilah dicari suatu syarat kelayakan yang lain, yaitu syarat kelayakan yang tidak terdapat di dalam materialisme sekarang. Ini tidaklah berarti bahwa kita mesti melupakan dan mesti memandang enteng kepada soal teknologi dan sains. Sebab menjadi kewajiban kita juga untuk berusaha mendapatkannya, tapi bukan dengan anggapan bahwa ia merupakan “syarat kelayakan” asasi yang mesti kita gunakan di dalam memegang pimpinan umat manusia dalam zaman sekarang ini.

Cuma ia diperlukan sekadar untuk menjaga hidup kita dari ancaman dan penindasan dan juga kerana konsep Islam sendiri yang mengajarkan bahwa teknologi adalah sebuah kemestian sebagai syarat menjadi khalifah Allah di muka bumi ini.

Oleh kerana itulah maka wajar kalau ada suatu syarat kelayakan lain, bukan teknologi dan industri, dan sudah pastilah syarat kelayakan itu tidak lain daripada akidah dan Program yang menjadikan manusia memelihara dan mengawal hasil teknologi, di bawah pengawasan suatu konsep lain yang dapat memenuhi hajat fitrah seperti yang telah diperolehi oleh kemajuan sains itu, dan supaya akidah dan program itu menjelma di dalam sebuah perkumpulan manusia, yaitu sebuah masyarakat Islam.

Sesungguhnya, dunia sekarang ini berada di dalam Jahiliyyah dari segi dasar yang menjadi sumber bagi tegaknya kehidupan dan peraturan-peraturannya. Jahiliyah yang tidak dapat menyelesaikan beban hidup hasil dari rekaan baru yang sedang memuncak sekarang.

Jahiliyah ini tegak di atas dasar mengebiri kekuasaan-kekuasaan Allah di muka bumi dan merampas hak istimewa Allah yaitu pemerintahan dan kekuasaan.

Jahiliyah itu menyandarkan pemerintahan kepada umat manusia yang menyebabkan setengah golongan menjadi hamba kepada setengah golongan yang lain bukan sahaja di dalam bentuk primitif seperti yang berlaku di zaman jahiliyah purbakala tetapi lebih dahsyat lagi di dalam bentuk mengakui dan memberi hak membuat konsep-konsep, nilai-nilai, undang-undang, peraturan-peraturan dan ketetapan-ketetapan yang jauh menyimpang dari panduan dan program Allah untuk hidup ini; dalam perkara-perkara yang tidak pernah diizin oleh Allah.

Karena itu, hasil dari penyalahgunaan kuasa Allah itu secara otomatis akan menimbulkan pelanggaran atas hak-hak Allah, dan pelanggaran atas hak-hak manusia.

Sebenamya kehinaan yang menimpa umat manusia di dalam sistem kolektif dan juga kekejaman yang menimpa individu dan bangsa terjajah di bawah sistem kapitalis adalah salah satu kesan dari pengebirian manusia atas hak istimewa Allah SWT, juga kerana manusia tidak menghargai kehormatan yang dianugerah oleh Allah kepadanya sejak azali.

Di dalam aspek ini, maka konsep Islam tetap berlainan langsung dengan konsep-konsep bikinan manusia; kerana di bawah sistem yang lain dari Islam, umat manusia itu saling mengabdikan diri di antara satu sama lain, dalam bermacam-macam bentuknya. Sedangkan di bawah sistem Islam, umat manusia bebas sepenuhnya daripada sebarang belenggu pengabdian kepada sesama manusia dengan cara mengabdikan diri kepada Allah SWT saja dan menerima arahan daripada Allah saja; juga tunduk dan patuh kepada Allah saja.

Inilah garis pemisah dan inilah persimpangan jalan. Inilah juga konsep baru yang kita mampu kemukakan kepada umat manusia mengenai konsep ini dan yang rangkaiannya adalah perbendaharaan yang masih belum dimiliki oleh umat manusia; kerana ia bukanlah hasil “pengeluaran” atau “produksi” kilang materialisme Barat dan bukan hasil teknologi Eropa, baik Eropah Barat mahu pun Eropah Timur.

Sesungguhnya kita- tanpa ragu sedikit pun - memang memiliki suatu potensi baru, lengkap dan sempurna; potensi yang masih belum dikenal dan belum mampu dibikin oleh seluruh umat manusia.

Tetapi potensi baru ini, seperti telah kita tegaskan, mestilah menjelma di dalam bentuk realiti yang praktis, mesti menjadi panduan dan darah daging suatu umat bagi lahirnya kebangkitan umat Islam yang akan disusul pula, lambat-launnya, oleh peranan memegang pimpinan seluruh umat manusia.

Tetapi bagaimanakah caranya memulakan operasi kebangkitan Islam itu? Jawabnya : Mesti ada satu golongan pelopor atau “kader” yang menghayati cita-cita ini, dan meneruskan kegiatannya dengan cara menerobos ke dalam alam jahiliyah yang sedang berpengaruh di seluruh permukaan bumi ini dengan memakai dua kaedah: yaitu kaedah memisahkan diri dan kaedah membuat hubungan di bidang lain dengan pihak jahiliyah itu.

Para pelopor dan kader itu tentulah memerlukan panduan-panduan di sepanjang perjalanan mereka; panduan yang memberikan tentang tabiat peranan mereka, hakikat tugas mereka dan inti sari tujuan akhir perjalanan mereka dan juga mengenai garis permulaan di dalam perjalanan jauh itu.

Para pelopor dan kader itu perlu mendapat panduan secukupnya mengenai - jahiliyah yang sedang berpengaruh di dunia sekarang di dalam suasana yang bagaimanakah mereka boleh berjalan seiring dengan jahiliyah dan di dalam suasana yang bagaimanakah pula mereka harus memisahkan diri.

Bagaimana caranya melayani pihak jahiliyah itu dengan menggunakan kaedah Islam dan dalam topik apakah yang perlu dibicarakan? Juga dari mana dan bagaimanakah pula menimba bahan-bahan panduan itu?

Panduan-panduan itu hendaklah diambil dan ditimba dari sumber asal akidah ini, yaitu Al-Quran dan juga dari arahan-arahan Al-Quran yang asasi juga dari konsep yang telah dipancarkan oleh Al-Quran ke dalam jiwa para pelopor dan kader terdahulu (para sahabat Rasulullah saw., red), yang telah diberi penghormatan besar oleh Allah SWT untuk mengubah bentuk sejarah umat manusia mengikut kehendak Allah.

Untuk para pelopor dan kader yang diharapkan dan ditunggu-tunggu kelahirannya itu saya tuliskan "Petunjuk Jalan" ini.

Empat fasal dari buku ini diambil dari buku Di bawah Naungan AL-QURAN (Fi Zhilalil Quran) dengan beberapa pindaan dan tambahan di mana perlu, sesuai dengan judul. Di antara kandungannya juga ialah delapan fasal, selain daripada muqaddimah ini, yang ditulis dalam waktu tertentu saya beroleh kesempatan dan ilham dari sumber Al-Quran Yang Mulia… dan dirangkai menjadi satu, sebagai “Petunjuk” dan panduan di dalam perjalanan, seperti juga buku panduan jalan dakwah yang lain.

Setidaknya, inilah petunjuk dan panduan peringkat pertama. Semoga Allah melimpahkan kurnia-Nya dan petunjuk ini akan disusul lagi oleh petunjuk-petunjuk lain bila saja Allah memberi hidayah kepadaku mengenai petunjuk di sepanjang jalan ini.

Wabillahi - ttaufieq.
Sayyid Quthub

(Dari Buku Ma'alim fith Thariq atau Petunjuk Jalan oleh Sayyid Quthub)