MENDAHULUKAN ORANG LAIN (AL-ÎTSAR)
HUDZAIFAH Al-'Adawi bercerita bahwa suatu hari saat
Perang Yarmuk ia mencari saudara sepupunya sambil
membawa air. Ia pun menemukan saudaranya itu dan
menawarinya minum. Saudaranya mengangguk mengiyakan.
Tapi ia mendengar ada orang mengerang kasakitan. Ia
menyuruh Hudzaifah memberikan air itu pada laki-laki
itu yang ternyata Hisyam ibn Al-'Ash. Hudzaifah
menurut, lalu menawarkan air pada Hisyam. Hisyam
mengangguk, namun sebelum sempat air itu diminum ia
mendengar seseorang yang mengerang kesakitan. Hisyam
menyuruh pergi memberikan air itu padanya. Ketika
Hudzaifah sampai pada laki-laki itu, ternyata ia
telah mati. Lalu ia kembali menemui Hisyam. Ternyata
Hisyam pun telah syahid. Buru-buru Hudzaifah menemui
saudaranya lagi, tapi ternyata ia pun telah dipanggil
Allah. Mereka meninggal sebelum sempat meneguk air
yang dibawa Hudzaifah karena lebih memilih
mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri.
Itulah gambaran itsar yang dipraktikkan para sahabat.
Sebuah peristiwa yang sangat sulit terjadi saat
sekarang. Al-Quran menggambarkan kehidupan penuh
îtsar ini sebagai berikut: Dan orang-orang yang telah
menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar)
sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang-orang yang berhijarah kepada mereka.
Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang
Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang Muhajirin)
atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung (QS. Al-Hasyr: 9).
* * *
DALAM bersaudara, Allah Swt. menuntut kita agar
melakukannya karena Allah, bukan karena motif
duniawi. Saat seorang Muslim mengakui Muslim yang
lain sebagai saudara, maka yang mesti terlintas dalam
hatinya bukan "apa untungnya saya bersaudara dengan
dia", melainkan "apa pun untung-ruginya, karena Allah
menyuruh untuk saling bersaudara dengan sesama
Muslim, maka saya akui dia sebagai saudara". Inilah
sikap seorang yang mau mengamalkan bunyi hadits Nabi,
"Barangsiapa mempersaudarakan dua orang karena Allah,
maka Allah akan mengangkatnya pada satu derajat di
surga yang tidak didapatnya dengan amal yang lain"
(HR Ibn Abi Dunya dari Anas ibn Malik).
Dalam memperlakukan saudaranya, menurut Al-Ghazali,
seseorang dapat tergolong dalam tiga kategori
berikut. Pertama, memperlakukannya seperti hamba
sahaya: ia memberikan sesuatu hanya dari sisa-sisa
yang sudah tidak dibutuhkannya, diminta ataupun
tidak. Kategori ini adalah kategori terendah dalam
bersaudara. Kedua, memperlakukannya sama seperti ia
memperlakukan diri sendiri: apa yang dibutuhkan oleh
dirinya, itulah yang ia berikan pada saudaranya.
Perlakukan ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan
yang pertama. Ketiga, lebih mendahulukan saudaranya
daripada dirinya sendiri (al-îtsar): sebelum ia
menikmati apa saja yang dimilikinya, ia akan lebih
dahulu memberikan pada saudaranya. Inilah derajat
persaudaraan tertinggi yang bila dijalankan akan
menjadikan kita sejajar dengan para shiddîqîn yang
dijanjikan surga oleh Allah. (Ihyâ' 'Ulûmuddîn,
jil.II hal. 171).
* * *
MEMANG, bukan hal yang mudah untuk merenda îtsar
dalam dada. Butuh latihan dan kesabaran. Sebelum
sampai ke sana banyak tangga yang mesti dilalui. Ada
tiga cara yang dapat kita biasakan agar sikap îtsar
dapat lebih mudah kita lakukan. Pertama, al-ta'âruf
(saling mengenal). Ibarat pepatah "tak kenal maka tak
sayang". Demikian pula dalam bersaudara. Saling
mengenal adalah kunci pertama untuk membuka pintu
persaudaraan. Adalah mustahil, seseorang bersaudara
tapi satu sama tidak saling mengenal. Untuk memulai
saling mengenal, kita harus mau terbuka menerima
orang lain apa adanya. Kebencian dan kedengkian harus
dihilangkan. Perbedaan tak perlu menjadi alasan untuk
tidak saling mengenal, apalagi antar sesama Muslim
yang telah dinobatkan oleh Allah sebagai saudara
dalam iman (lihat QS. Al-Hujurat: 10).
Setelah saling mengenal, amal kedua yang dapat kita
biasakan adalah saling membantu (al-ta'âwun)
Rasulullah bersabda, "Seorang Mukmin dengan Mukmin
yang lain ibarat satu bangunan yang saling menguatkan
satu sama lain" (HR. Bukhari). Semakin sering kita
saling membantu, sikap individualistis akan terkikis.
Ikatan persaudaraan antar sesama pun semakin terpatri
erat.
Namun demikian, Allah berpesan agar tidak saling
membantu dalam perbuatan dosa. Firman-Nya, "Dan
tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa. Dan
janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan
permusuhan. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesunggzlhnya Allah amat berat siksa-Nya" (QS. Al-
Maidah: 2). Saling membantu dalam perbuatan dosa dan
permusuhan, pada satu sisi memang akan menguatkan
solidaritas dalam kelompok. Tetapi di sisi lain, akan
mewujudkan ketidakharmonisan masyarakat dan
berpotensi memperkuat permusuhan antar kelompok.
Islam menginginkan persaudaraan terwujud dalam
masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya dalam
kelompok tertentu.
Amal ketiga adalah berempati atas penderitaan orang
lain dan segera ingin membantu melepaskannya. Bukan
hal yang mudah untuk dapat berempati dan ikut
merasakan penderitaan orang lain. Namun, sikap ini
dapat dilatih dengan cara membiasakan diri bersegera
membantu saat orang lain mendapat musibah atau
kesusahan. Pertama kali memang sulit, musibah yang
menimpa orang lain tidak kita rasakan sendiri. Bila
tak ditolong pun rasanya tidak akan berpengaruh apa-
apa buat kita. Perasaan semacam ini harus dikikis
habis. Bila dibiarkan, sangat potensial menyuburkan
sikap individualistis. Rasulullah Saw pun
menginginkan agar seorang Muslim dengan Muslim
lainnya seperti satu tubuh yang saling merasakan.
Bila ketiga hal di atas telah terbiasa kita lakukan,
Insya Allah sikap îtsar akan lebih mudah kita
praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan bila
ini benar-benar telah terwujud, tak harus ada
pengemis di pinggir jalan dan tak perlu ada orang
mati kelaparan. Wallâhu A'lam.
Minggu, 22 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar