Selasa, 10 Februari 2009

Makna Syahadat Kita

SYAHADATAIN, dan semuanya jadi baik..



POTRET SYAHADAT UMMAT
Keadaan kaum muslimin saat ini memang sangat memprihatinkan, bukan sekedar aspek materi yang minim, dengan gejala kemiskinan yang lekat dengan citra kaum muslimin, tapi juga aspek immateri yang meliputi : pendidikan, kesehatan, kesejahteraan bahkan aspek keyakinan terhadap dien-nya pun sangat lemah.
Bila kita gunakan Alquran sebagai teropong untuk melihat ummat, maka akan kita dapati ummat Islam dewasa ini adalah ummat LAIN, bukan sebagai ummat Alquran yang dilukiskan Allah SWT sebagai ummat terbaik, yang dijelaskan alasan terbaiknya karena mereka menyeru orang berbuat makruf dan mencegah orang bebuat munkar, serta beriman kepada Allah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kaum muslimin memiliki kelemahan di bidang aqidah, tsaqofah, tarbiyah, manajemen organisasi, dakwah dan akhlak. Kondisi ini berlaku di hampir semua negara-negara Islam/ mayoritas Islam.
Semua ini tak lebih karena kelalaian kaum muslimin yang seharusnya mampu menjadi Khalifah (pengatur) di muka bumi. Kita kehilangan kemampuan dalam menerjemahkan kehendak-kehendak Ilahiyah dalam bentuk yang aplikatif. Padahal alam semesta ini adalah milik Allah sehingga hanya Dia yang dapat mengoperasikan perputaran roda alam ini, sehingga ketundukkan dan kepatuhan kepadaNya adalah mutlak karena walaupun kita membangkang atau tidak melaksanakan kehendakNya –yang menyebabkan kehancuran dan kebinasaan—maka tidaklah berkurang kekuasaanNya.
Sebuah majalah Islam, Suara Hidayatullah, di tahun 90-an telah mengangkat fenomena ini dalam rubrik Kajian Uatama-nya. Disebutkan disana bahwa keadaan ummat yang carut marut ini adalah sebuah cerminan dari kualitas syahadat ummat yang masih sangat rendah, dan sekarang fenomena ini masih terus berlanjut, bahkan semakin menggejala.

MENEMUKAN KEMBALI SYAHADATAIN...
Kenapa ummat Islam terjebak pada situasi ini ? ini tak bukan karena kita semakin kabur dalam melihat visi dan misi mengapa kita diciptakan. Kekaburan visi kita kedepan tercermin dalam kelalaian kita kepada hari akhir yang kekal dan kita hanya sibuk dengan kesenangan dunia yang sifatnya sementara. Kekaburan visi misi mengapa kita diciptakan tercermin dalam kealpaan kita dengan tugas sebagai hamba sekaligus khalifah Allah di muka bumi yang semuanya ini adalah aktualisasi dan realisasi dari kekuasaan Allah yang merupakan penguasa tunggal, dengan kata lain kita sudah kabur dengan ke-tauhid-an kita terhadap Allah. Banyak diantara kaum muslimin yang beridentitas-Islam, mereka membaca syahadat tetapi belum bersyahadat, mereka mengerjakan sholat tetapi belum mendirikan sholat, mereka menunaikan haji tetapi belum berhaji, bahkan mereka memperjuangkan Islam tetapi mereka belum berjuang untuk Islam.
Sesungguhnya perjuangan berat Rosulullah dalam menemukan syahadat telah terlambang dalam peperangan lahir, yang digambarkan dalam bentuk perang fisik melaawan bala tentara pimpinan Abu Sufyan. Sedang peperangan bathin adalah melawan hawa nafsunya sendiri, sesuai sabdanya bahwa jihad akbar adalah jihad melawan hawa nafsu sendiri.
Barulah setelah itu syahadat dalam pengertian sesungguhnya dapat dijumpai oleh segenap umat Islam pada zaman itu. Rosul pun tidak terlalu sulit dalam menebarkan benih-benih syahadat dalam masyarakat Islam. Relatif tidak begitu lama dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun, buah syahadat menampakkan diri berupa tatanan masyarakat Islami yang diidam-idamkan.

NILAI STRATEGIS SYAHADAT
Benarkah syahadatain dapat merubah tatanan masyarakat, yang tadinya jahily menjadi tatanan masyarakat islam? Dimanakah letak strategis syahadatain? Bagi sebagian orang mungkin tak akan percaya bahwa sesungguhnya perubahan itu dimulai dari syahadatain. Tapi fakta sejarah telah membuktikan bahwa rosulullah mengubah dunia dengan landasan awal syahadatain.
Setidaknya ada beberapa nilai strategis syahadatain, yaitu :
1. Pintu gerbang Islam
apa sih bedanya orang Islam dengan kafir ? pakah dari namanya? Robert dengan Hasan? Atau dari wajahynya berjenggot atau tidak? Ternyata ada juga Robert yang beragama islam sedang hasan beragama nasrani dan banyak kaum muslimin yang tidak berjenggot sedangkan penyanyi barat yang kristen berjenggot, bahkan pencuri-pencuri arab yang kafir juga berjenggot.. lalu apa yang membedakannya?yang membedakanya adalah syahadat. Seseorang dikatakan muslim bila dia mengikrarkan syahadatain karena sesungguhnya syahadatain merupakan pernyataan ketundukkan (Islam) itu sendiri.seseorang belum dikatakan muslim bila hanya mengikrarkan Laa Ilaha Ilallah sebab hakikat seorang muslim adalah ketundukan, jika belum tunduk kepada sunnah rosulullah maka belum Islamlah dia (QS 60:13; 59:7).
2. Syahadat merupakan inti ajaran Islam
Islam bila diperas maka akan kelihatan pangkal dan ujungnya merupakan laa Ilaha Ilallah. Dari segala aspek peribadatan ternyata menuju kepada pengabdian kepada Yang Esa, yaitu Allah. Islam mencakup ibadah dalam arti khusus (mahdloh) yang benar-benar ditujukan kepada Allah semata, Islam mencakup Ibadah alam arti luas/umum, muamalah (ghoir mahdloh) yang merupakan konsekuensi dari tugas kholifah dan fungsi kholifah inilah yang merupakan bukti aktuaisasi kekuasaan Allah Yang Maha Besar yang tidak hanya bisa menuruti perintahNya ataupun membangkang, namun juga bisa memilih mana yang baik untuk dia dengan konsekuensi-konsekuensi tertentu (QS 20:123-124).
3. Syahadatain merupakan Asas perubahan
segala ssuatu yang ada di alam ini apat berubah sesuai dengan sunnatullah kecuali sunnatullah itu sendiri. Namun sesuatu itu ada yang cepat berubah dan ada yang lambat. Pengetahuan dan teknologi mudah sekali berubah, kebudayaan lebih lambat, dan ideologi/keyakinan/akidah susah untuk berubah, sehingga dapat dikatakan manakala ideologi seseorang sudah berubah, maka berubah pula tatanan kehidupan dia (budaya, teknologi, pengetahuan, cara hidup dsb). Demikian pula dengan orang Islam apabila syahadat yang merupakan inti ajran Islam sudah menancap dalam dirinya sebagai akidah, maka berubah pula seluruh aspek kehidupannya seperti halnya seorang Umar bin khottob yang dulunya seorang jahiliyah yang bengis sehingga tega membunuh anak perempuannya sendiri dan bodoh karena menyembah berhala dapat berubah menjadi seorang penyayang yang selalu ronda tiap malam untuk mencari orang yang membutuhkan dan menjad seorang yang pandai sehingga mampu membuat undang-undang sesuai syariat Islam setelah dia bersyahadat. Syahadat inilah yang akan selalu memompa semangat ummat Islam untuk selalu membuat perubahan yang lebih baik (QS 13:11) dan karena inlah orang-orang kafir sangat takut kepadanya.
4. Syahadat merupakan hakikat dakwah para rasul
rasul dilahirkan dari ibu yang berbeda-beda namun mempunyai misi yang sama. Syariat yang dibawa rosul dapat berbeda-beda namun intinya tetap sama yaitu beriman kepaada Allah dan menjauhi thogut.
5. syahadat merupakan keutamaan yang agung
syahadat dapat menyelamatkan dari azab Allah di dunia dan akhirat. Juga menjadi sebab terhapusnya dosa dan maksiat sertta sebab masuknya seseorang kedalam surga dan tidak kekal di neraka.

KANDUNGAN SYAHADAT
Setelah kita mengetahui urgensi syahadat dala kehidupan maka perlu sekiranya kita mengetahui kandungan syahadat karena kandungan syahadat inilah yang menjadikan kengerian orang kafir seperti diungkapkan Amr bin hisyam (abu jahal) kepada nabi sekaligus ketenangan bagi kaum muslimin. Syahadat merupakan sebuah ikrar, sumpah dan janji yang diyakini dalam hati diucapkan oleh lisan dan diamalkan sesuai dengan rukun-rukun tang telah ditetapkan yang isinya tentang Tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Kandungan Laa ilaha Ilallah sendiri adalah bahwa kita mengakui tidak ada pencipta, tidak ada pemberi rizqi, tidak ada penguasa, tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat, tidak ada pengatur alam semesta ini, tidaka da pelindung, tidak ada hakim, tidak ada yang berhak memerintah dan melarang, tidak ada pembuat syariat, tidak ada yang ditaati an tidak ada yang pantas disembah serta diibadahi kecuali Allah, sedangkan kandungan Muhammadurosulullah adalah kita wajib taat dan mengambil suri teladan untuk kita realisasikan dalam kehidupan hanya kepada Nabi Muhammad.

KONSEKUENSI SYAHADAT
Kandungan syahadat diatas sudah barang tentu akan membawa konsekuensi yang antara lain :
1. Cinta dan Iman tanpa ragu-ragu
Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RosulNya kemudian tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan juwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (QS 49:15).
2. Jihad
segala kesaksian dan pernyataan tanpa bukti sesungguhnya hanyalah angan-angan. Bukti bahwa orang yang bersyahadat adalah dengan kerelaannya mengorbankan segala apa yang dia punyai baik harta maupun jiwa untuk menegakkan kalimat syahadat di muka bumi. Namun ini semua tak akan pernah terealisir kecuali dengan jihad (kesungguhan).
3. Alwala’ wal bara’
kalimat syahadat merupakan upaya pelepasan diri/penolakan terhadap semua Ilah (bara’) dan penisbahan diri menjadi seorang hamba hanya kepada Allah (wala’) sehingga konsekuensinya seorang yang telah bersyahadat harus berani menolak segala bentuk penghambaan kepada selain Allah dan segala kedzaliman. Selain itu dia harus tunduk, patuh dan loyal (setia) kepada Allah (QS 60:1).
4. Totalitas Islam
Allah tidak menghendaki ada penyekutuan terhadapNya karena Dia tidak menghendaki adanya parsialisasi Islam sebab dengan parsialisasi maka akan menggambarkan terbaginya cinta dimana hal inilah yang sangat dibenci Allah, dzat yang seharusnya paling dicinta (QS 9:24; QS 2:108).

DAMPAK SYAHADAT
Apabila syahadat telah menancap kuat pada diri kaum muslimin dan telah dia realisasikan melalui pemenuhan konsekuensinya maka kaum muslimin akan tumbuh sikap merdeka, mulia, tenang, aman, optimis, berani dan tawakkal. Selain itu akan turun barakah dari Allah dan akan mendapatkan kepemimpinan.

EPILOG
Sesungguhnya kehidupan ini adalah cobaan bagi manusia. Segala persoalan islam yanga da pada saat bini juga merupakan cobaan bagi kaum muslimin. Kita diuji bagaimana kita mampu mempertahankan tauhid dalam kehidupan kita. Kita dulu dihidupkan dengan syahadat dan mati pun seharusnya dengan syahadat (syahid) pula sehingga kita mendapatkan jannah Allah yang dijanjikan. Amiin

 

 

 

 

SENTUHAN FITRAH

Tulisan ini mungkin terlambat, tapi semoga ada manfaatnya dalam usaha
menambah wawasan keimanan dan keilmuan kita.

Ramadan, bulan puasa telah berlalu. Sebulan penuh itu seorang Muslim
berupaya semaksimal mungkin untuk menjadi hamba yang abid, meninggalkan
kenikmatan duniawinya di siang hari dalam rangka mendekatkan atau
taqarrub kepada Allah SWT. Di bulan puasa inilah seorang hamba akan
berupaya semaksimal mungkin untuk mengenal alam spiritual yang agung.
Makan, minum dan hubungan suami isteri yang merupakan simbol jasadiyah
kehidupan ditinggalkan dalam masa tertentu, untuk menyingkap pandangan
material manusia untuk mengembalikan pandangan spiritualnya.

Kemampuan manusia menembus alam materialnya dalam melihat dunianya,
merupakan kemenangan yang luar biasa. Sebab hanya dengan kapabilitas
tersebut, manusia mampu membedakan wujudnya dari wujud-wujud makhluk
lainnya. "ya'lamuuna zaahiran minal hayatid dunya wa hum 'anil Akhirati
hum ghaafiluun" (Mereka tahu dari kehidupan dunia ini hanya yang
lahir-lahir semata. Sedangkan mereka lalai terhadap kehidupan Akhirt".
Ayat lain menjelaskan, "Sungguh Kami telah persiapkan neraka jahannam
untuk kebanyakan dari kalangan Jin dan manusia. Sebabnya, mereka punya
mata namun tidak melihat, punya telinga namun tidak mendengar, punya
hati tapi tidak faham. Mereka itu seperti binatan, malah lebih sesat
dari binatan". Pada bagian lain, dijelaskan, "Mereka itu makan dan
bersenang-senang sebagaimana hewan-hewan makan dan bersenang-senang".

Ungkapan Al Qur'an yang sangat keras terhadap sebagian manusia di
atas, bukanlah suatu yang samar lagi dalam kehidupan manusia saat ini.
Karakteristik hewani manusia telah dominan, sehingga nilai-nilai kesucian
spiritualnya telah terabaikan bahkan terkadang dianggap momok bagi kehidupan
manusia itu sendiri. Ini tentunya, adalah konsekwensi langsung dari kebutaan
manusia dalam pandangan spiritual. Sehingga mata kasar melihat dengan jelas
segala yang kasat pandang, namun di balik pandangan kasat itu semuanya
mereka buta. Ketidak mampuan memandang secara spiritual inilah yang
melahirkan berbagai sifat maupun sikap bodoh yang lebih dikenal dengan
istilah "jahiliyah".

Merayakan Idul Fitri.

Keberhasilan manusia dengan puasanya untuk menyingkap tabir pandangan kasat
menuju kepada pandangan spiritual, sebagaimana dikatakan, adalah merupakan
kemenangan yang besar (fawz adziim). Kemenangan inilah yang lazimnya
dirayakan oleh kaum Muslimin di penghujung Ramadan. Mereka bergembira,
bersuka ria terlepas dari kungkungan material yang selama ini menjadi
penghalang antara dirinya dan dunia kemanusiaannya atau alam insaniyahnya.
Kembalinya manusia ke alam insaniyah yang sesungguhnya inilah yang disebut
"idul Fitri" atau kembali ke fitrah (kesucian, kealamiahan).

Fitrah inilah sesungguhnya yang kita sebut tadi dengan penglihatan
spiritual. Yaitu suatu kemampuan untuk memandang dengan hati nurani.
Pandangan nurani inilah sesungguhnya pandangan manusiawi. Pandangan
yang mampu menjangkau di balik pandangan kasat. Sebagai ilustrasi,
jika anda berjalan bersama 5 kawan yang datang dari latar belakang;
warna kulit, bahasa, tradisi, bangsa Eropa, Asia, Afrika, China, Arab,
dll, tiba-tiba di tengah jalan anda dan kawan-kawan ini menyaksikan
suatu tabrakan dahsyat, dimana seorang bayi ditabrak mobil misalnya.
Maka saya yakin, semua yang menyaksikan itu, baik yang hitam, putih,
bermata sipit, Eropa, China, Asian, dll, semuanya akan merasakan suatu
perasaan yang sama. Yaitu suatu perasaan iba, kasihan atau apapun
istilahnya. Yang jelas terjadi suatu perasaan yang sama pada setiap
individu yang berlatar belakang sosial mapun lahiriyah yang jauh berbeda.

Perasaan inilah sesungguhnya merupakan indikasi fitrah yang paling kuat
dalam diri seseorang. Semua manusia memiliki perasaan seperti ini. Karena
fitrah ini tak akan mungkin terobah apalagi hilang dari seorang manusia.
"Fitratallahi allati fatarannasa 'alaeha laa tabdiila likhalqillah" (Fitrah
Allah, dimana manusia diciptakan sesuai dengan fitrah itu. Tiada perubahan
dalam ciptaan fitrah itu).

Maka istilah Idul fitri sesungguhnya, bukanlah istilah yang harus
ditafsirkan secara harfiyah (tekstual), melainkan difahami sebagai upaya
untuk menyingkap berbagai sitar antara dunia manusia dengan alam nuraniya
(fitrahnya) sendiri. Di sinilah manusia (baca ummat Islam) diwajibkan
meninggalkan simbol-simbol kesenangan dunianya (kecenderungan perut dan
apa yang di bawah perut) di siang hari untuk mengikis kecenderungan yang
melupakan (lahwun) fitrah.

Pokok-pokok sentuhan Fitrah

Sebenarnya kehidupan manusia seluruhnya harus tertata di atas nilai-nilai
fitrah ini. Sebab memang manusia diciptakan di atas nilai-nilai fitrah tadi
(Fitratallahi allati fatarannasa 'alaeha). Namun demikian, dapat dikatakan
bahwa sentuhan pokok fitrah manusia ada pada 4 hal:

Pertama, Ma'rifat al Khaliq

Sentuhan fitrah yang paling terbesar adalah pengenalan terhadap sang Khaliq.
Barangkali inilah sentuhan fitrah yang terbesar karena merupakan fakta
terbesar pula dalam kehidupan manusia. Sehingga dikatakan, jika seorang
manusia tidak lagi mengenal Tuhannya maka jangan diharap dia akan mengenal
apapun, termasuk dirinya. Barangkali inilah fakta kehidupan manusia saat
ini.
Manusia tidak lagi mengenal apa-apa dengan benar, termasuk mengenal dirinya
sendirinya, karena mereka telah jahil terhadap hakikat Rabnya. "Nasullaha
fansaahum anfusahum, ulaaika humul ghaafiluun" (Mereka lupa Allah, maka
Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-
orang yang lalai).

Memang rasanya sangat berlebihan jika manusia tidak lagi mengenal Tuhannya.
Padahal hakikatnya, dimana pun mata memandang Tuhan menampakkan diriNya
(kebesaranNya) secara jelas. Di sinilah sebabnya, sehingga Rasulullah SAW
pernah bersabda: "Pikirkanlah ciptaan Allah dan Jangan memikirkan Dzat
Allah, sebab kamu tak akan mampu mencapaiNya". Disebutlah dalam buku-buku
sejarah para ahli tasawuf, bahwa suatu ketika AL Ghazali berjalan di
pinggir pantai. Lalu di pandangnya keindahan ombak di lautan, seraya
berujar: "aku lihat Tuhanku berenang-renang". Tentulah Al Ghazali
memaksudkan di sini, betapa kebesaran Ilahi terpancar lewat keindahan
ombak lautan sekalipun.

Berbagai ayat dalam Al Qur'an menjelaskan, bahwa Allah menampakkan
tanda-tanda kebesaranNya dalam segala ciptaanNya, termasuk dalam diri
manusia itu sendiri. "Akan Kami perlihatkan tanda-tanda kebesaran Kami
di angkasa luar dan pada diri-diri mereka, apakah mereka tidak melihat?"
Bahkan perintah menganalisa, membaca dalam Al Qur'an sebagai wahyu pertama
intinya memerintahkan manusia untuk memikirkan penciptaan dirinya sendiri
dalam upaya untuk mengenal Rabbnya Yang telah mencipta (Iqra' bismi Rabbika
alladzi Khalaq".

"Tidakkah mereka lihat bagaimana onta diciptakan. Bagaimana langit
ditinggikan. Bagaimana gunung ditancapkan. Dan bagaimana bumi dihamparkan"
firmanNya.

Demikian menyatunya antara Khaliq dan fitrah manusia, sehingga seingkar
apapun manusia, ia tak akan mampu mengingkari adanya wujud Ilahi. Disebutkan
dalam Al Qur'an bahwa Iblis ketika diusir dari Syurgapun masih mengakui
kebesaran Ilahi. "Fabiizzatika laughwiyannahum ajma'iin" (Hanya dengan
kemuliaanMu ya Allah, akan kami sesatkan mereka semua).

Fir'aun sang mutakabbir yang berlebihan, pengaku tuhan tertinggi, bahkan
berpura-pura tidak mengenal Tuhan ketika Musa AS memperkenalkan kebesaranNya
kepadanya: "Wamaa Rabbukuma ya Musa wa Haruun" (Siapa sih Tuhanmu wahai Musa
dan harun?). Namun terbukti bahwa fitrahnya tak akan mampu mengingkari Tuhan
ketika ia tenggelam di laut merah, di saat keangkuhannya tersingkap karena
dunia luarnya telah mengkhianatinya. Kekuasaannya, tentaranya, kekayaannya,
dan semua kesombongannya lari meninggalkannya di tengah laut menjerit-jerit
memohon pertolongan. Akhirnya, ia berkata: "al aana amantu biRabbi Musa wa
Haruun" (Sekarang saya beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun). Inilah
pengakuan fitrah. Namun pengakuan terpaksa tak akan pernah diterima dalam
ajaran kebenaran.

Kini manusia modern berpura-pura pula tidak mengenal Allah. Namun dari hari
ke hari, mereka jsuteru sesungguhnya mengejar, berlari mencari Tuhannya.
Batin mereka menjerit. Mencari sesuatu yang lebih dari apa yang saat ini
nampak, dan apapun yang akan nampak dalam pandangan kasat manusia
(material). Mereka mengejar semua itu, namun tak kunjung mendapatkannya,
karena mereka tenggelam dalam kepura-puraan mengingkari fitrahnya.
Nuraninya tertutupi alam material untuk mengakui Ilahnya yang terang
benderang di hadapan matanya.

Kedua, Ma'rifat al insan.

Sebagaimana disebutkan bahwa keberhasilan manusia dalam mengenal Tuhannya
atau kegagalannya dalam mengenal Tuhannya akan melahirkan pula pengenalan
terhadap dirinya atau kejahilan terhadap dirinya sendiri. Manusia hanya akan
sadar akan dirinya jika sadar akan Tuhannya. Sebaliknya, manusia akan jahil
terhadap dirinya jika ia jahil terhadap Tuhannya. Sehingga sebagai
penafsiran dari ayat: "Nasullaaha fa ansaahum anfusahum" (mereka lupa
Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri),
disebutkan dalam sebuah pepatah Arab: "man 'arafa nafsahu faqad 'arafa
Rabbah" (siapa yang kenal dirinya maka dia sudah kenal Tuhannya). Ini
adalah konsekwensi logis. Bahwa mereka yang mengenal Allah, baik dalam
alam pemikiran (keyakinan/iman) maupun aksinya (amal), adalah manusia
yang sadar akan dirinya. Mereka tahu, dari mana mereka, bagaimana mereka,
serta akan ke mana mereka sesungguhnya dalam kehidupan ini.

Berbeda dengan mereka yang tidak sadar diri (karena tidak kenal Tuhan),
mereka serba semrawut kehidupannya. Kehidupan manusia semacam ini adalah
kehidupan "budak-budak" material yang tunduk patuh kepada rutinitas
keduniaan. Mereka tidak lagi sebagai "ahsanu taqwiim" (sebaikbaik ciptaan),
atau makhluk yang termulia (karramna banii aadam) serta bukan lagi sebagai
pemegang amanah pengendali bumi (khalifah) yang telah diberikan autoritas
penuh "Huwalladzi khalaqa lakum maa fil ardh" (Dialah Allah yang telah
menjadikan semuanya "bagimu" apa-apa yang ada di atas bumi ini) untuk
mengelolah bumi ini dalam rangka kemakmuran mereka sendiri. Sebaliknya,
mereka telah menjadi budak-budak keduniaan (material). Mereka tidak punya
pijakan hidup, sehingga mereka cenderung mengikut kepada "perubahan situasi"
dan bukannya mereka menjadi "penggerak/pengendali prubahan" tersebut.

Kegagalan manusia dalam mengenal dirinya inilah yang melahirkan berbagai
sifat maupun sikap yang serba jahil. Kesimpang siuran nilai-nilai kehidupan,
kesemrawutan prilaku, menjadi fenomena utama masyarakat jahil tersebut.
Barangkali contoh-contoh klasik, seperti homoseksualitas, lesbianisme,
poliamorisme, free sex, berbagai bentuk violence, dll, adalah contoh-contoh
yang terjadi setiap saat di depan mata kita. Manusia telah berdaya upaya
untuk menanggulangi semua ini. Milyaran dollar telah dibelanjakan untuk
mencari solusi. Namun tak kunjung redah apalagi habis, karena dalam
prosesnya justeru manusia semakin diajak untuk tidak mengenal dirinya
sendiri. Dan ini pulalah dilema dunia barat saat ini. Sadar akan
keboborokan yang terjadi, namun tidak sadar kalau semua itu sebagai akibat
dari kejahilan terhadap dirinya, akibat kejahilan akan KhaliqNya.

Ketiga, Ma'rifat al Wali wal 'Aduw

Sentuhan fitrah yang ketiga adalah mengenal kawan dan lawan. Sebagaimana
perkawanan (walaa), permusuhan ('adaa) juga adalah bagian dari fitrah
manusia. Hanya saja, bahwa dalam kenyataannya manusia banyak tidak mengenal
siapa kawan (wali) dan siapa pula musuh ('aduw)nya. Sehingga terkadang
manusia yang seharusnya bermusuhan dengan musuh-musuhnya, menjadi berkawan
bahkan terkadang kongkalikong (kolusi) dengan musuh-musuhnya.

Ketika Adam pertama kali diturunkan di atas bumi ini, pesan Allah yang
pertama kepada Adam dan isterinya adalah: "Qulnahbithuu ba'dhukum liba'dhin
adhuwwun" (Turunlah kamu dalam keadaan bermusuhan). Para ulama mengatakan
bahwa "ba'dhukum liba'dh" di atas adalah salah satu bentuk kata yang
menggambarkan keadaan atau "haal" dalam istilah tata bahasa Arab. Artinya,
manusia hadir di atas dunia ini dalam keadaan bermusuhan. Bermusuhan dengan
siapa? Konteks ayatnya jelas, yaitu dengan Iblis.

Masalahnya adalah seringkali kita salah persepsi bahwa Iblis itu adalah
makhluk terpisah yang jauh dari kita. Barangkali ini benar. Namun dilihat
dari hakikatnya, sesungguhnya Iblis itu terkadang menyatu dengan diri-diri
kita. Karena demikian dekatnya, sehingga semua arah terkuasai olehnya untuk
menggoda kita. "Dari depan, belakang, kanan dan kiri" semuanya dapat
dipergunakan untuk menyesatkan manusia. Ini pula maknanya, sehingga
Rasulullah SAW mengatakan bahwa musuh terbesar kita adalahmusuh yang ada
pada diri kita sendiri (hawa nafsu).

Untuk melepaskan kungkungan Iblis (musuh) terhadap diri kita diperlukan
Allah (wali) sebagai pembenteng. Manusia yang taqarrub (dekat) dengan
Tuhannya inilah yang pasti jauh dari musuhnya (Iblis). "Allaahu
Walyyulladzina aamanuu. Walladziina kafaruu awliyaauhum at Thaguut"
(orang-orang yang beriman itu walinya adalah Allah, sedangkan orang-orang
kafir wali-walinya adalah thagut). Dan orang yang menjadikan Allah sebagai
walinya tak akan mengalami rasa takut dan khawatir dalam kehidupan ini.
"Alaa inna awliyaaLLAHI laa khawfun 'alaihim walaa hum yahzanuun" (Sungguh
bagi wali-wali Allah tiada takut bagi mereka dan tiada mereka bersedih).
Kini ditemukan bahwa ternyata penyakit "takut dan khawatir" adalah sumber
dari berbagai penyakit manusia. Dan ini pula kekhasan manusia modern, jika
miskin bersedih, jika kaya takut bangkrut. Akhirnya hidupnya dibayang-
bayangi oleh hantu "takut" dan "khawatir".

Keempat, ma'rifat al Waqi'

Manusia hidup di alam kenyataan. Bagi seorang Muslim hidup ini adalah
realita. Bukan sebagaimana teori nihilisme yang memandang dunia ini sebagai
"ilusi" yang seolah-olah hanya bayangan. Dari sinilah Al Qur'an menyatakan:
"Wa lakum filadhi mustaqarr wamataa'" (Bagimu di atas bumi ini tempat
tinggal dan kesenangan). Hanya saja, segera Allah lanjutkan: "ilaa hiin"
(hingga pada batas tertentu). Batas ini meliputi dua makna, batas waktu dan
juga batas kwalitas.

Maka pengenalan terhadap "alam kenyataan" juga merupakan bagian dari fitrah
manusia. Manusia tidak bisa berpura-pura jadi makhluk lain (malaikat)
misalnya, lalu cenderung mengingkari alam kenyataan ini. Sebab itu adalah
pengingkaran total terhadap fitrahnya sendiri. Maka rasulullah SAW sangat
marah kepada tiga sahabat yang bertekad meninggalkan dunia ini dalam rangka
pengabdian kepada Allah. Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa orang yang
mencari dunia ini namun tetap mengabdi kepada Tuhannya adalah lebih baik
ketimbang seseorang yang menghabiskan seluruh masanya hanya untuk ibadah
ritual semata. Bahkan berbagai ayat dalam Al Qur'an jelas-jelas mewajibkan
mencari dunia sebagaimana mewjibkan manusia mencari Akhiratnya.

Maka manusia yang tidak mengenal "Waqi'"nya akan menjadi "korban" kehidupan.
Sebab dia akan tergilas dengan perjalanan kehidupannya itu sendiri. Maka
bagi seorang Muslim, ia harus memandang kehidupan ini dengan pandangan yang
serius. Namun keseriusan itu tidak menjadikannya gagal untuk mengenal
hakikat dan tujuan hidup yang sesungguhnya (beribadah). Manusia Muslim
tenggelam secara fisik ke alam bumi, namun ia memiliki orientasi "langit"
yang tinggi. Sebab hanya dengan keseimbangan seperti ini, manusia menemukan
fitrah kehidupannya yang sebenarnya.

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus