Darunnajah..darunnajah..!!!
Tujuh belas tahun adalah waktu yang panjang, buat sebuah pengabdian.
Suka duka, senang susah bahkan pahit getir sudah sering dialami. Itulah istriku yang saat ini sedang megalami puncak keresahan.
Resah karena ada kebijakan baru yayasan yang kurang menguntungkan. Ada pemotongan ihsan, hah ???
Tahun 1994 adalah awal “perkenalanku” dengan Lembaga Pesanteren yang cukup besar ini. Bahkan dapat dibilang yang terbesar di Jakarta ini.
Awalnya adalah ketika aku mendapat “amanah” dari Tasikmalaya, agar aku menyampaikannya ke “seseorang” yang pada sekitar tahun 86/87an sering aku “perhatikan” setiap kali aku berlibur di Pesanterennya itu.
Darunnajah dulu masih sederhana. Sederhana dalam manajemen juga sederhana dalam fasilitas.
Ya sudahlah, itu cerita masa lalu. Sedangkan yang ingin aku ceritakan di sini, saat ini, adalah tentang kebijakan-kebijakan DN yang sering menimbulkan “kotroversial”.
Aku sering dibuat kagum, sekaligus bingung. Terkadang menyenangkan, tapi dalam waktu yang tidak berjauhan, malah menegangkan.
Istriku, sering membawa pulang cerita-cerita tentang itu semua.
Tiada hari tanpa cerita. Itulah kebiasaan dalam keluargaku. Aku, istriku bahkan anak-anakku, kalau sudah berkumpul, setelah seharian berpencar, selalu saling bertukar cerita.
Dalam hal ini istriku memang lebih aktif bercerita. Dia seakan ingin membagi apa yang sedang ia alami. Baik suka maupun duka.
Terkadang ia menceritakan tentang rekan-rekannya yang baru saja mendapat rizki, dan ia diajak makan bersama, nikmaat banget. Ya aku hanya mesem-mesem saja mendengar ceritanya itu. Karena Cuma ceritanya aja yang dibawa pulang.
Kadang kadang iapun bercerita dengan penuh semangat tentang salah seorang wali santri yang sangat dermawan. Kalau yang ini dia sering membawa pulang untuk dinikmati bersama dengan anak-anak dan keluarga besarku.
Tapi juga nggak jarang istriku membawa pulang cerita sedih. Cerita tentang musibah yang menimpa salah seorang rekannya. Atau tentang kebijakan-kebijakan Yayasan DN yang kurang populis. Kurang merakyat. Atau apalah istilahnya, yang jelas kurang menyenangkan.
Kebijakan yang sangat menyenangkan, tentu saja lebih banyak. Dan itu sudah kami rasakan selama ini.
Dan bagiku sendiri, aku bahkan ikut menikmati “kebijakan-kebijakan” Yayasan yang aku terima hingga saat ini. Seperti tunjangan untuk aku (suami), untuk anak-anakku dan sebagainya. Bahkan anakku(Rumaisha ) bisa belajar dengan tenang di DN ini juga karena fasilitas yang kami dapatkan.
Nggak kebayang, seandainya aku harus membayar full segala kewajiban yang harus aku tunaikan untuk biaya Shasha di DN ini.
Berapa sih penghasilanku. Sebagai tenaga honorer di Yuppentek nggak bakal cukup untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, termasuk biaya pendidikan anak-anak.
Untuk membayar cicilan saja aku harus “disubsidi” oleh istriku. Cicilan rumah Rp. Satu juta perbulan. Motor lima ratus/bulan. Pinjaman dari Teh Ucu sembilan ratus ribu setiap bulan. Belum lagi pinjaman di koperasi, hampir empat ratus ribuan.
Tiga juta, adalah angka yang wajibulqudhu aku keluarkan/bulan. Tentu saja belum termasuk biaya hidup sehari-hari.
Untung saja Wildan dapat di sekolah negeri. Aku tinggal ngeluarin untuk uang saku plus ongkosnya setiap hari. Ya lumayan besar, tujuh ribu/hari.
Dan lebih untung lagi, si cantik Neyla betah ditipkan sama neneknya (emakku). Walau lumayan besar kalau dihitung perbulannya, sekitar lima ratus ribuan, tapi jadi nggak terasa karena ada keikhlasan dan kepuasan serta kenyamanan yang tidak akan kami dapatkan jika seandainya Ney diasuh oleh orang lain.
Ya, hidup ini harus terus berjalan. Suka tidak suka. Sanggup nggak sanggup harus bisa kita tempuh.
Krisis global. Hantu apa lagi ini. “Makhluk” yang cukup menakutkan, terutama bagi kalangan dunia industri.
Amerika memang selalu bikin masalah, biang kerok. Dampaknya nyampe juga ke sini. Dan sialnya nggak hanya “menteror” dunia industri. Dunia pendidikanpun kena getahnya. Terlebih pendidikan yang “digarap” oleh swadaya masyarakat, alias swasta, seperti Pondok Pesantren, Yayasan dan saudara-saudaranya.
Aku sendiri pegawai swasta tulen bin murni. PNS bagiku adalah “Pegawai Nunggu Sampai nggak dipakai lagi oleh Yayasan..”
Dan aku patut bersyukur, di tempatku mengabdi, Yayasan belum pernah membuat kebijakan yang “merugikan” para karyawannya. Kecuali SP satu sampai tiga bagi yang melakukan indisipliner, atau kesalahan fatal lainnya.
Agak berbeda sedikit dengan “nasib” istriku.
Saat ini ia lagi gelisah. Kasihan, dapat mengurangi nilai ibadahnya dalam bekerja karena niat ikhlasnya terganggu.
Bagi kami seluruh aktivitas adalah ibadah. Kuncinya adalah ikhlas. Beban jadi ringan, jika ikhlas.
Itulah yang aku lakukan. Tugas mengantar dan menjemput jadi indah karena berharap pahala.
Capek, sudah pasti. Bahkan terkadang kesel, kalau yang dijemput nggak tepat waktu. Ada rapatlah, kondanganlah, takziahlah, inilah, itulah..
Tapi keselku hanya sebentar, setelah tahu alasan mengapa harus nunggu bermenit-menit di depan.
“Waduh, bi siap-siap ngencengin ikat pinggang lagi nih”. Kata istriku tiga hari yang lalu.
Lho ada apa lagi nih. Padahal baru aja beberapa bulan yang lalu aku menerima khabar yang sangat menggembirakan.
Kamis (12/02) kemarin, aku izin mau nganter istri ke Kanwil Depag di Jakarta Timur. Gara-gara KTP nya hilang, harus lapor ke BRI cabang sono. Padahal Cuma distempel doang. Sah. Uangpun bisa diambil.
Beda waktu belum lapor. Niat mau ngambil uang, eh malah pulang jalan kaki hampir 2 km.
“Alhamdulillah, bi. Gampang”. Katanya sambil memasukkan uang yang baru saja diambil dari BRI.
Lumayan ada tambahan Rp.200 ribu/bulan dari Depag. Dana fungsional
katanya. Boleh diambil perenam bulan. Dan kemarin kali yang kedua ia menikmati uang “bonus” tersebut.
Menikmati baginya bukan untuk bersenang senang. Bukan untuk belanja pakaian. Apalagi untuk makan-makan.
Sepanjang perjalanan pulang, dia telah memposkan ke beberapa orang, untuk ...bayar hutang. YA, BAYAR HUTANG..???
Nyisa, ???? boro-boro, aku kebagian sepuluh ribu untuk beli bensin.
Tapi alhamdulillah. Wong itu uang bonus. Rizki minalloh.
“Bi, jangan kaget ya !” kata istriku hari Sabtu (14/02) kemarin.
“Kenapa mi ?. SK nya sudah keluar ? Sertifikasinya sudah turun ?” tanyaku nggak sabaran.
“Bulan depan ummi nggak kebagian uang”. Katanya sambil menunduk. Terlihat sekali rona kekecewaan pada wajahnya. Air mata mulai mengalir dari pojok matanya. Ia sedih. Nyesel cape-cape ngambil uang ke BRI Kanwil, kalau ternyata itu bukan haknya.
Aku mencoba menenangkan hatinya. Aku mencoba untuk tidak emosi, dan tidak larut dalam kesedihannya.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Hanya itu yang keluar dari lidahku.
Boleh jadi sudah terbayang di depannya. Makanan Neyla yang sudah habis, SPP Rumaisha yang nunggak dua bulan. Dan berbagai kebutuhan lain yang harus dipenuhi.
Nyambung...
Melihat istrku sedih, akulah yang paling bersalah. Mengapa ia harus bekerja. Mengapa ia harus ikut membanting tulang, menguras fikiran. Bahkan terkadang mengorbankan tugas pertama dan utamanya, menjadi ibu rumah tangga.
Waktunya tersita di luar. Kegiatan kemasyarakatan nggak pernah terlibat. Padahal sebagai ibu RT dia harus mampu dan mau bermasyarakat.
Berangkat pukul setengah enam. Pulang sudah di atas jam enam. Pergi masih gelap, kembali ke rumah sudah kembali gelap.
Rumah hanya tempat singgah. Kurang dari sepuluh jam sudah harus “pergi” lagi, ke rumah keduanya : Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta.
Seperti itulah istriku menjalani kehidupannya di Jakarta ini. Jam terbangnya melebihi aku, suaminya.
Belum lagi dengan jadwal extra, ngawas malam. Wah, tugas yang satu ini terasa lebih berat, terutama setelah ada Neyla.
Baru aja pulang. Pukul delapan malam saudah harus ngepos lagi di DN.
Dan aku, so pasti terlibat. Aku harus nungguin sampai jam sepuluhan. Bayangkan kalau tugas kayak begini nggak dijalankan dengan ikhlas.
Mungkin sudah masuk angin duluan sebelum berangkat. Sudah mati duluan sebelum berjuang.
Ya, ikhlas adalah sumber energi yang paling dahsyat. Sumber kekuatan yang membuat segalanya jadi ringan.
Mestinya sikap seperti ini yang harus dipertahankan. Tidak mudah mengeluh. Tidak merasa diintimidasi. Tidak terpaksa dan tidak tidak yang lainnya. Enjoy aja, gitu kata iklan rokok.
Lalu kenapa sekarang aku jadi ikut resah. Mengikuti pola perasaan wanita, yang lebih didominasi oleh perasaan. Walau sebenarnya istriku memang seorang wanita. Tapi yang aku tahu, dia tidak seperti wanita kebanyakan. Istriku adalah wanita yang tegar.
Kadar imannya jauh di atas imanku. Kesabarannya. Ketaatannya kepada suami, sudah aku buktikan sendiri.
Mestinya ia dapat memahami. Memaklumi berbagai kebijakan yayasan yang sepertinya “dzalim”.
Sedang asyik asyiknya aku di depan koputer di ruanganku, HP ku berbunyi, tanda ada sms masuk.
Kubuka dan kubaca : Dari istriku yang memfrwd sms Teh Ucu, yang memfrwd sms ustd Asep, rekannya di DPRD Tasikmalaya. Isinya apa lagi kalau bukan “tagihan” BSM.
Aku jadi malu, nggak enak sama Teteh. Nama baiknya dipertaruhkan hanya untuk membantu kami.
Empat tahun yang lalu, ketika kami sangat membutuhkan uang untuk membayar hutang piutang, Teteh mau meminjamkan ke BSM atas nama ustadz Asep ( rekan satu fraksi di dewan ).
Janji siap mencicil satu juta perbulan, ternyata tidak lancar. Sering nunggak bahkan blong berbulan bulan.
Desember lalu baru saja kami menutupi tunggakan sebanyak sepuluh bulan.
Gali lobang, tutup lobang. Begitulah jadinya. Untuk menutupi yang sepuluh bulan itu, istriku kembali “menggadaikan” ijazahnya ke D’Smart Darunnajah.
Alhamdulillah, untuk sementara ke “malu” an kami tertutupi. Rasa nggak enak sama Teteh sedikit terobati.
Tapi gara gara itu, ihsan istriku terpotong setiap bulannya. Gajinya yang cukup lumayan itu, nyisa seperempatnya. Yang seperempat itupun habis untuk bayarin hutang di sana sini. Hutang sama rekannya, sama si uwa (tukang sayur tetangga kami) dan yang lainnya.
Tetapi aku salut, pos untuk emak nggak pernah dilewatkan. Juga buat Ida, adekku yang ikut ngemong Neyla.
Subhanallah.. seandainya, ya seandainya tidak ada “pemotongan”. Tidak ada lagi hutang. Penghasilan kami berdua sudah lebih dari cukup. Cukup, karena kebutuhan kami tidak akan melebihi dari kesanggupan. Cukup untuk makan, untuk biaya pendidikan, infaq shadaqah dan untuk membantu saudara saudara yang sangat membutuhkan uluran tanga.
Cukup untuk merehab rumah emak yang sudah sangat tidak layak. Rumah peninggalan bapak yang sejak “ditinggal” olehnya, belum berubah sama sekali.
Cukup untuk membantu anak-anaknya Bang Hasyim. Kasihan dia, penghasilannya sebagai pedagang ketupat sayur, bersama istrinya, jauh dari mencukupi. Jangankan untuk biaya sekolah keempat orang anaknya, untuk makan sehari haripun aku dengar, seadanya.
Nyambung...
kalau boleh minta informasi, bagaimana darunnajah saat ini..terutama darunnajah 8 di gunung sindur, saya mau menitipkan anak saya disana..terimakasih
BalasHapus