Saat Kusentuh Jemarimu Dengan Mesra
Author: Abu Authori
Jemari itu tak lagi lentik, terasa beda saat pertama
kali disentuh kala malam pertama. Kulitnya bersisik
dan berkerut, karena getir kehidupan. Guratan bekas
parutan pun membuatnya bertambah kasar. Tak jarang
jemari itu basah, menahan kristal-kristal bening yang
menggenang di telaga mata, pedih... teringat pedasnya
kata-kata yang pernah menusuk hati.
Kala keheningan malam menjamu temaramnya rembulan,
diukirnya do'a-do'a dengan goresan harapan, khusyu',
berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta.
Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap belahan
jiwa dengan tatapan cinta, kemudian perlahan
dikecupnya sang kakanda dengan mesra.
Indah...
Sungguh teramat indah Al Qur'an melukiskannya, "Mereka
itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka." [Al-Baqarah 187]
Adakah yang lebih indah dari rasa kasih sayang
diantara kedua insan yang berlainan jenis dalam sebuah
ikatan pernikahan? Ia adalah sebuah mitsaqan ghalidza
(perjanjian yang kuat), karenanya yang haram menjadi
halal, maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi
kesucian dan kebebasan pun menjadi sebuah tanggung
jawab.
Dua hati yang berserakan akhirnya bertautan, ibadah...
hanya itu yang dijadikan alasan.
Keindahan cinta dalam sebuah mahligai pernikahan
adalah harapan penghuninya. Cinta akan membuat
seseorang lebih mengutamakan yang dicintainya,
sehingga seorang istri akan mengutamakan suami dalam
keluarga, dan seorang suami tentu akan mengutamakan
perlindungan dan pemberian nafkah kepada istri
tercinta.
Cinta memang dapat berbentuk kecupan sayang,
kehangatan, dan perhatian, namun bunga cinta tetaplah
membutuhkan pupuk agar selalu bersemi indah.
Karenanya, segala kekurangan akan menumbuhkan
kebesaran jiwa, bahkan air mata yang mengalir itu pun
adalah sebagai tanda kesyukuran kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala, karena IA telah memberikan pasangan hidup
yang selalu bersama mengharap keridhoan-Nya.
Lalu, masihkah kehangatan itu nyata seiring
bertambahnya usia pernikahan?
Aaah...
Kadang kita sebagai suami lebih sering bersikap
dzalim. Kesibukan tiada henti, rutinitas yang selalu
dijumpai, lebih menjadi 'istri' daripada makna istri
itu sendiri. Masihkah ada curahan kelembutan dari
seorang qowwam (pemimpin) yang teduh? Adakah belaian
kasih sayang yang begitu hangat seperti kala pertama
kedua hati bersatu?
Saat-saat awal pernikahan, duhai sungguh romantis.
Rona mata penuh makna cinta terpancar saat saling
berpandangan, kedua tangan saling bergandengan, hingga
jemari tersulam mesra. Tak lupa bibir melantunkan
seuntai nada ...Sambutlah tanganku ini / Belailah
dengan mesra / Kasihmu hanya untukku / Hingga akhir
nanti...
Amboi... sungguh membuat iri mata yang memandang.
Malam dan siang silih berganti mewarnai hari, susah
senang hilang timbul bagaikan gelombang laut, keluh
dan bosan pun kadang menelusup, hingga akhirnya lirik
lagu cinta pun meredup ...Sepanjang jalan kenangan
kita selalu bergandeng tangan / Sepanjang jalan
kenangan kupeluk dirimu mesra / Hujan yang
rintik-rintik di awal bulan itu / Menambah nikmatnya
malam syahdu...
Akhirnya kemesraan pun hanyalah sekedar kenangan.
Entahlah...
Entah kemana canda yang dahulu pernah membuat istri
kita tertawa bahagia, ciuman di kening seraya berpesan
"Baik-baik ya di rumah," atau pun sekedar ucapan salam
"Assalaamu alaykum ummi," saat akan keluar rumah.
Bahkan, lupa kapan terakhir tangan ini menyentuh,
menggenggam mesra jemari istri tercinta. Padahal
dosa-dosa akan berguguran dari sela-sela jemari saat
kedua tangan disatukan.
Duhai Allah,
Airmata itu pernah tumpah, deras bercucuran
Luruh dalam isakan, menyayat kepedihan
Hanya karena enggan jemari ini bersentuhan
Ampuni diri yang dzalim ini yaa Allah
Sadarkan, sebelum saatnya harus beranjak pergi
Jauh, dan... tak akan pernah kembali
Wallahua'lam bi showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar