Minggu, 22 Februari 2009

Membangun Keluarga dengan Cinta

Bismillahirrahmannirahim,

 

 

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah

Yang Maha

Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang"

(Q.S. Maryam 19:96)

 

 

Suatu hari seorang sahabat bertanya kepada isteri Rasulullah,

Aisyah,"Apakah yang dikerjakan Rasulullah saw di rumah?" Aisyah

menjawab, "Beliau biasa di dalam tugas sehari-hari keluarganya, yakni

melayani keluarganya. Maka apabila telah tiba waktu shalat, beliau

keluar untuk menunaikan shalat."

 

 

Dialog antara al Aswad dengan Aisyah yang terangkup dalam hadits

Bukhari itu benar-benar meresap dalam telinga saya. Setelah dua tahun

menikah, saya berupaya menerapkannya. Di tengah keluarga, kegiatan

sehari-hari seperti membersihkan rumah, berbelanja ke pasar hingga

memasaknya, adalah hal yang biasa saya lakukan bersama isteri. Bila

saya meracik bumbu-bumbu, maka isteri saya yang menggorengnya.

Demikianlah, kegiatan itu seakan menjadi kebiasaan, tanpa perlu

jadwal dan komando dari masing-masing pihak.

 

 

Malukah saya dengan lingkungan saya, yang masih menganggap bahwa

pekerjaan rumah tangga menjadi tugas isteri? Saya rasa tidak. Bila

Rasulullah saw yang saya junjung tinggi saja menjahit pakaiannya ,

memerah susu kambingnya dan melayani dirinya, kenapa saya tidak?

Meneladani kehidupan Rasulullah, menurut saya tidak hanya sebatas

pada perkara-perkara di luar rumah, yang orang banyak bisa

menyaksikannya. Namun perlu juga menelasdani kehidupan beliau di

dalam rumah tangganya, yang cukup diketahui oleh isteri, anak, dan

kerabat-kerabat dekat kita.

 

 

Selama ini, kita seolah-olah telah dibatasi pada pembagian kerja

berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki harus mengurusi persoalan

publik, sedangkan wanita harus ditugasi membereskan persoalan

domestik. Kita, kaum lelaki, selalu minta dilayani, tanpa mau gantian

untuk melayani.

 

 

Sebagai pasangan perkawinan yang masih tergolong muda, saya selalu

berupaya mencari bentuk rumah tangga yang ideal yang pernah dibangun

oleh para pasangan sebelumnya. Saya merasa belum menemukan profil

keluarga yang menjadikan al Quran dan as Sunnah sebagai poros

kehidupan mereka. Hingga suatu ketika, isteri saya yang hobi menulis

ini mengajak saya pergi ke toko buku. Lalu dia beli dua buku biografi

ALi bin Abi Thalib dan Fatimah az Zahra. Dari situlah saya temukan

profil keluarga ideal yang saya inginkan.

 

 

Sebagaimana Nabi, Ali pun membantu isterinya dalam membereskan urusan

keluarganya. Suatu ketika dia pernah berkata pada isterinya,

Fatimah,"Demi ALLAH aku selalu menimba air dari sumur hingga dadaku

terasa sakit." Lalu Fatimah menimpali,"Dan aku demi ALLAH memutar

penggilingan hingga tanganku melepuh." Dari dialog suami isteri itu

dapat saya simpulkan bahwa peran ganda pria dan wanita telah

membudaya dalam kehidupan masyarakat yang dibina Nabi, jauh sebelum

masyarakat modern mempropagandakannya akhir-akhir ini.

 

 

Betapa pasangan Ali dan Fatimah telah membangun keluarganya dengan

CINTA. Cinta dalam makna saling menolong, saling mengasihi, saling

memberi dan saling menyayangi.

 

 

Sebagai manusia biasa, ada sesuatu hal yang tak sanggup untuk saya

lakukan, sebagaimana Rasulullah telah melakukannya. Misalnya dalam

poligami. Saya pribadi, menangkap hikmah poligami Rasulullah itu

bukan dari manifestasi jumlah isteri yang layak untuk dinikahi.

Namun, saya lebih menekankan pada aspek manajemen yang diterapkan

Rasulullah dalam bergaul dengan para isterinya.

 

 

Dalam hal ini,  Rasulullah telah memberikan uswah yang bervariasi

mengenai

tata cara menghadapi wanita, dengan kompleksitas perwatakannya.

Kadangkala saya menemui isteri saya sebagai seorang wanita penyayang

dan penuh pengertian, maka saya tiru sikap Rasulullah ketika menghadapi

Khadijah. Adakalanya saya jumpai isteri saya dengan sifat manja dan

kekanak-kanakan, maka sayapun merujuk tata cara Rasulullah saat

menghadapi Aisyah.

 

 

Di lain waktu, saya temukan isteri saya menjadi perempuan matang dan

tegas, lalu saya pun berupaya  mengimbanginya dengan memakai kiat

dari Rasulullah saat menghadapi Ummu Salamah. Dan ketika isteri saya

tiba-tiba berubah menjadi wanita yang cerdas, tapi keras kepala,

ternyata saya tak kehabisan akal. Saya meniru bagaimana sikap

Rasulullah saat menghadapi Hafsah.

 

 

Karena itulah, saya tidak heran manakala suatu ketika seorang teman

mengeluh pada saya mengenai beratnya membangun keluarga di masa-masa

awal dalam perkawinan. BIla membina rumah tangga itu enteng, mungkin

Rasulullah tidak perlu bersabda, "Barangsiapa kawin (beristeri) maka

dia telah melindungi (Menguasai) separuh agamanya, karena itu

hendaklah dia bertaqwa kepada ALLAH dalam memelihara yang separuhnya

lagi." (HR Al Hakim dan AThthahawi). Begitulah jawaban saya, dalam

hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar